Hujan, Aku yang Terperangkap dalam Payung Malam
(dari sebuah chatting YM dengan seorang Guru 8.13 malam, diawali berbagi beberapa kata sehingga lahir sebentuk puisi suara hati)
Hujan, Aku yang Terperangkap dalam Payung Malam
By: Guru – Syafrina Siregar
apa yang selalu hilang pada setiap hujanku kini.
Aku tak lagi berdoa melihat engkau lewat,
bergegas dengan tanganmu yang nyaris tak kuat menahan angin yang hendak merebut payung itu...
hanya ada bintang yang terlambat,
langit yang pucat,
dan aku dijendela yang rapat,
membiarkan basah tubuh: entah oleh air mata sendiri, entah tersebab rintih rintik yang disesatkan angin ini..
segaris terang,
sebaris bayang, aku belum beranjak dari bingkai jendela.
Ada yang kubayangkan larut bersama deras hujan,
mengalir ke muara paling jauh yang pernah kubayangkan,
ke laut paling teduh yang bisa kukenangkan..
malam, katamu dulu, waktu yang menyandarkan payung,
dan kita terkurung di dalamnya, dengan basah yang sama,
dengan gigil yang gagal menyembunyikan dusta.
"Aku telah terbiasa dengan dingin yang lebih dingin dari dingin ini..." katamu.
ada yang selalu ada dalam hujanku kini.
Senja dan kelam, pelangi yang muram.
Aku hanya mengulang-ulang zikir doa yang sama:
akulah payungmu dan angin, oh, rebutlah aku dari tangannya....
Batam, 8.32 PM
thanks to Guru.
Untuk seorang teman minum kopi yang bersamanya berteduh diantara deraian hujan berpayung daun pisang.
Hujan, Aku yang Terperangkap dalam Payung Malam
By: Guru – Syafrina Siregar
apa yang selalu hilang pada setiap hujanku kini.
Aku tak lagi berdoa melihat engkau lewat,
bergegas dengan tanganmu yang nyaris tak kuat menahan angin yang hendak merebut payung itu...
hanya ada bintang yang terlambat,
langit yang pucat,
dan aku dijendela yang rapat,
membiarkan basah tubuh: entah oleh air mata sendiri, entah tersebab rintih rintik yang disesatkan angin ini..
segaris terang,
sebaris bayang, aku belum beranjak dari bingkai jendela.
Ada yang kubayangkan larut bersama deras hujan,
mengalir ke muara paling jauh yang pernah kubayangkan,
ke laut paling teduh yang bisa kukenangkan..
malam, katamu dulu, waktu yang menyandarkan payung,
dan kita terkurung di dalamnya, dengan basah yang sama,
dengan gigil yang gagal menyembunyikan dusta.
"Aku telah terbiasa dengan dingin yang lebih dingin dari dingin ini..." katamu.
ada yang selalu ada dalam hujanku kini.
Senja dan kelam, pelangi yang muram.
Aku hanya mengulang-ulang zikir doa yang sama:
akulah payungmu dan angin, oh, rebutlah aku dari tangannya....
Batam, 8.32 PM
thanks to Guru.
Untuk seorang teman minum kopi yang bersamanya berteduh diantara deraian hujan berpayung daun pisang.
1 Comments:
At 7:15 AM, Samalona said…
Memang ada segelintir orang yang bisa memancing kreatifitas kita sampai ke tingkat yang kita sendiri tidak menyangka sanggup mencapainya. Entah karena orang itu memang diberi karunia tersebut (untuk dibagikan kepada semua orang), atau dia pun baru terpicu setelah bertemu orang-orang tertentu.
Terlepas dari itu, terima kasih sudah berbagi sajak ini dengan kita-kita. Sangat impresif.
Post a Comment
<< Home